Friday, June 27, 2008

KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK

Kehidupan keluarga bagi umat manusia adalah suatu kebutuhan mutlak. Oleh karena itu pasangan suami isteri pasti dituntut untuk dapat menjalankan bahtera keluarganya dengan baik, bagaimana suami menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga dan bagaimana isteri menjalankan tugas-tugasnya secara benar sebagai wakil dalam keluarganya. Semua ini merupakan suatu persoalan besar dalam kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu sudah seharusnya kita memiliki pedoman yang jelas mengenai ketentuan tanggung jawab orang tua kepada putra putrinya.

Mengenai hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 (a) ada yang disebut Hadhanah dan Wilayat Al-mal. Hadhanah dalam ilmu fiqh adalah istilah bagi pemeliharaan anak diwaktu kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang belum sempurna akalnya serta belum baliq dan belum dapat berusaha sendiri. Kewajiban ini merupakan kewajiban orang tua baik dikala suami isteri masih utuh ataupun bercerai. Masalah Hadhanah ini tidaklah semata-mata berlaku untuk kedua orang tua saja, akan tetapi kerabat pun dapat ditugaskan melakukan hal tersebut apabila kedua orang tua anak itu tidak mampu atau dianggap tidak cakap.

Sedangkan Wilayat Al-mal yaitu memelihara kekayaan si anak dan kepentingan-kepentingan si anak yang berhubungan dengan harta tersebut. Mengenai pemeliharaan kekayaan si anak harus dilakukan oleh si bapak, kalau tidak ada diganti oleh kakek dari pihak bapak. Tetapi si bapak berkuasa untuk menunjuk orang lain untuk mengurus harta si anak dalam sebuah wasiat. Dalam hal ini sebaiknya ibu dari anak itu yang ditunjuk. Apabila orang-orang tersebut tidak ada lagi, maka kekayaan si anak harus diurus oleh negara.

Kekayaan Wilayat Al-mal ini berlangsung terus sampai anak itu dapat dikatakan Rasyid, yaitu telah mampu mengurus sendiri kekayaannya dan biasanya anak dianggap Rasyid apabila sudah baliq yaitu berumur kurang lebih lima belas tahun.

Kalau menurut Undang-undang Perkawinan Pasal 45 ayat (1) disebutkan ”kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Ayat (2) menyebutkan ”kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antar kedua orang tua putus”.
Jadi secara rinci hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dapat dijelaskan sebagai berikut:
Memberikan perlindungan;
Memberikan pendidikan;
Mewakili anak dalam segala perbuatan hukum bagi yang umurnya delapan belas tahun kebawah dan belum pernah kawin;
memberikan biaya pemeliharaan anak walaupun kekuasaan orang tua telah dicabut.

Menurut pasal ini berarti orang tua mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Bila orang tua tidak melaksanakannya atau orang tua berlaku buruk terhadap anak, maka orang tua dapat dicabut kekuasaannnya.

Apabila mereka dicabut kekuasaannya maka akan timbul perwalian terhadap anak sesuai dengan ketentuan Pasal 50 Undang-undang Perkawinan, yaitu ayat (1) ”anak yang belum mencapai umur delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali”. Ayat (2), menyatakan ”perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya”.

Sedangkan mengenai pemeliharaan kekayaan si anak diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Perkawinan yang menyebutkan ”orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali anak itu menghendakinya”.
Pasal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap barang tetap milik anak dari perbuatan orang tua yang mungkin dapat merugikan anak tersebut.

Dengan sekelumit penjabaran mengenai kewajiban orang tua terhadap anak yang telah kami coba jabarkan di atas, kami berharap para orang tua lebih serius dengan tanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya untuk menjaga dan mencintai anak dengan penuh kasih sayang. Sehingga tercipta anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya. Jangan sampai orang tua menjadi durhaka kepada anaknya, dan juga sebaliknya.


siwi_saras_ipak


Sumber :
1. ”40 Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak” Drs. M. Thalib.
2. “Bimbingan Perkawinan” Drs. Dedi Junaedi.
3. “Hukum Perkawinan Di Indonesia” Prof. Wahyono Darmabrata, SH., MH. dan Surini Ahlan

Sjarif, SH., MH.

Tuesday, June 24, 2008

HARTA BERSAMA (GONO GINI)

Semua orang tentunya mengharapkan hal-hal yang indah dalam sebuah perkawinan, akan tetapi terkadang apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Akhir-akhir ini semakin banyak pasangan suami isteri yang menempuh jalan sendiri dengan kata lain mereka memilih untuk bercerai, ketika apa yang diharapkan tidak terlaksana. Mereka menganggap perceraian adalah penyelesaian yang terbaik dari ketidakharmonisan mahligai perkawinan mereka.

Seperti artikel kami sebelumnya yang membahas mengenai perceraian, ternyata perceraian bukan merupakan suatu penyelesaian yang terbaik. Karena setelah adanya putusan pengadilan, biasanya akan timbul beberapa permasalahan yang baru seperti hak asuh anak dan pembagian harta bersama.

Kedua hal ini sering menimbulkan perselisihan diantara suami isteri yang bercerai. Kali ini, kami akan membahas mengenai harta bersama. Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta bersama dibagi dengan seimbang antara mantan suami dan mantan isteri. Hal ini tentunya apabila tidak ada perjanjian perkawinan mengenai pisah harta dilakukan oleh pasangan suami isteri yang dilakukan sebelum dan sesudah berlangsungnya akad nikah.

Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-undang dan peraturan berikut:

  1. UU Perkawinan Pasal 35 ayat (1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Artinya harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama;
  2. KUHPerdata Pasal 119, disebutkan bahwa sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan isteri;
  3. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 85, disebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pasal ini sudah menyebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta perkawinan (harta gono gini). Meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing pasangan baik suami maupun isteri.
  4. Pada KHI Pasal 86 ayat (1) dan (2), kembali dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan (ayat (1)); pada ayat (2) lebih lanjut ditegaskan bahwa pada dasarnya harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga sebaliknya.

Harta bersama meliputi:

  1. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;
  2. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri;
  3. Harta yang diperoleh sebagai hadiah/pemberian atau warisan apabila ditentukan demikian.

Dengan demikian, segala urusan yang berkenaan dengan harta bersama harus didasari ketiga sumber hukum positif tersebut.

Mengenai harta bersama, dalam Pasal 37 UU No.1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan menentukan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.

Bagi umat Islam, ketentuan pembagian harta bersama diatur dalam KHI Pasal 97 dinyatakan bahwa ”janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, sedangkan bagi penganut agama lainnya diatur dalam KUHPerdata Pasal 128 yang menyebutkan bahwa ”setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan isteri atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tidak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperoleh”.

Berkaitan dengan harta barsama , hukum positif juga memberikan perlindungan hukum terhadap harta bersama tersebut. Perlindungan ini berupa peletakan sita jaminan terhadap harta bersama jika dikhawatirkan salah satu pihak suami-istri akan melakukan kecurangan, seperti mengalihkan sebagian besar harta bersama kepada pihak ketiga dengan maksud ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang di dapat pihak yang melakukan kecurangan tersebut akan lebih banyak dari yang seharusnya. Sita jaminan dalam hal ini biasa kita kenal dengan istilah sita marital.

Dalam KHI Pasal 95 ayat (1) mengatur bahwa ”dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c, Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2) suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya”. Ayat (2) lebih lanjut mengatur, ”selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.”

Menurut KUHPerdata dan KHI apabila terjadi perceraian, pembagian harta bersama bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai, tidak harus menunggu putusan cerai terlebih dahulu.

Dalam hal putusnya perkawinan yang disebabkan perceraian biasanya akan mengakibatkan perselisihan antara suami dan isteri mengenai harta bersama. Maka kami memberi saran, sebaiknya bagi yang ingin menikah terlebih dahulu diadakan perjanjian tertulis mengenai harta bersama dalam perkawinan antara calon suami dan calon isteri, sehingga dalam hal terjadinya perceraian, maka salah satu pihak yang menuntut pembagian dari harta bersama tersebut tidak perlu mencari pembuktian dengan sulit, karena secara hukum telah ditentukan bagian-bagian bagi mereka, sebagaimana yang telah mereka perjanjikan sebelumnya.

Sumber:

1. ”Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadinya Perceraian” Happy Susanto.

2. “Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di IndonesiaProf. Wahyono Darmabrata, SH.,MH dan Surini Ahlan Sjarif, SH.,MH.

3. Artikel “Hukum Sita Marital VS Perjanjian Pranikah” Ria Jumriati

Putusnya Perkawinan di lihat dari Kompilasi Hukum Islam dan UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan harapan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia,kekal dan abadi sampai akhir hayat. Akan tetapi kenyataannya perkawinan tersebut terkadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Banyak perkawinan berakhir di tengah jalan.Berakhirnya perkawinan biasanya disebut juga dengan putusnya perkawinan.

Secara garis besar menurut Kompilasi Hukum Islam dan UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, putusnya perkawinan disebabkan oleh beberpa hal, yaitu: kematian, perceraian dan keputusnya pengadilan.

Perceraian itu sendiri merupakan hal yang dibolehkan namun dibenci oleh Allah SWT. Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian biasanya disebabkan oleh talaq atau berdasarkan gugatan cerai.

Arti talaq itu sendiri berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Secara umum talaq diartikan sebagai peceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya suami atau istri. Sedangkan secara khusus, talaq diartikan sebagai perceraian yang dijatuhkan oleh suami. (Mulati, 1999)

Dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 39 ayat (1) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian hanya bisa dilakukan di hadapan sidang pengadilan, tentunya setelah pengadilan mengadakan usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu namun tidak berhasil. Pasal 39 ayat (2) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga memaparkan bahwa untuk melakukan perceraian harus didasari oleh alasan yang cukup bahwa kedua belah pihak tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami-istri.

Adapun alasan-alasan dari terjadinya perceraian di paparkan dalam Pasal 116 UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut berbunyi:

1.           salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2.           salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
3.           salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun  atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4.           salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5.           salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6.           antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7.           suami melanggar taklik-talak.
8.           peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Menurut hukum Islam suami memiliki hak untuk menjatuhkan talaq kepada istrinya sesuai dengan alasan-alasan yang terdapat dalam UU Perkawinan dan KHI. Di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri dikenal istilah Cerai Talaq, sedangkan untuk putusan pengadilannya sendiri dikenal juga istilah cerai gugat. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa cerai talaq adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami kepada istri. Sedangkan cerai gugat adalah cerai yang dijatuhkan oleh istri kepada suami. Disinilah letak perbedaannya.

Pernyataan talaq seorang suami kepada istrinya haruslah dilegalisasi di depan pengadilan. Setelah pernyataan talaq tersebut dilegalisasi di hadapan pengadilan kemudian pengadilan memberikan Legal Formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talaq dari suami. Pemberian Legal formal ini tentunya mengacu pada alasan-alasan cerai pada UU Perkawinan. Pada proses pemberian legal formal ini, hakim memberikan jangka waktu kepada suami untuk memikirkan kembali pernyataan suami untuk menjatuhkan talaq. Pada dasarnya pernyataan talaq tidak boleh diucapkan pada saat suasana hati diliputi emosi. Oleh karena itu sejak dikeluarkannya Surat Edaran dari Mahkamah Agung (SEMA) no.1 tahun 2002 Pengadilan Agama diharuskan memberikan sarana mediasi dan mengoptimalkan lembaga mediasi tersebut bagi pasangan suami-istri yang akan bercerai.

Dengan pemberlakuan lembaga mediasi ini banyak permohonan talaq yang ditolak oleh Pengadilan Agama. Ada banyak alasan yang membuat Pengadilan Agama menolak permohonan talaq, antara lain : 1) karena permohonan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan UU; 2) positanya obscuur (tidak jelas); 3) antara posita dan petitumnya bertentangan.

Harus diakui bahwa dengan adanya lembaga mediasi dan difungsikannya secara optiomal lembaga tersebut membawa banyak dampak positif. Lembaga mediasi ini selalu berpulang pada syar’i. Al-Qur’an selalu kembali pada lembaga hakam itu. Jadi, hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri. Jadi, setiap perkara yang bisa diarahkan dengan menggunakan lembaga hakam dan mengarah pada syiqoq, sebisa mungkin menggunakan lembaga mediasi. Lembaga mediasi ini maksudkan agar permohonan cerai suami-istri dapat berakhir dengan berdamainya kedua belah pihak dengan kata lain suami-istri tersebut tidak jadi meneruskan permohonan cerai tersebut.

Tata cara pengajuan permohonan dan gugatan perceraian bisa secara tertulis maupun secara lisan. Apabila suami mengajukan permohonan talak, maka permohonan tersebut diajukan di tempat tinggal si istri. Sedangkan apabila istri mengajukan gugatan cerai, gugatan tersebut juga diajukan ke pengadilan dimana si istri tinggal. Dalam hal ini, kaum istri memang mendapatkan kemudahan sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Mengenai tempat pengajuan gugatan perceraian mengacu pada pasal 118 HIR. (Thohir, 2003)

Setelah cerai, maka bagi istri berlaku masa tunggu (masa iddhah), yaitu selama tiga nulam sepuluh hari. Sedangkan bagi wanita yang sedang hamil, maka masa iddhah nya adalah sampai dia melahirkan. Masa idhah tersebut berlaku ketika putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk kasus cerai talak, maka masa iddhah berlaku setelah permohonan talak suami dilegalkan oleh Pengadilan Agama.

Apabila masa iddhah telah lewat dan mantan suami istri ingin kembali rujuk, maka mereka pun dapat kembali rujuk. Kecuali suami telah menjatuhkan talaq tiga kepada istrinya. Apabila hal itu terjadi maka suami tidak dapat lagi rujuk dengan istrinya kecuali istrinya telah menikah lagi dengan pria lain kemudian pria tersebut menceraikan si istri barulah suami terdahulunya dapat menikahi kembali si istri. Secara umum, rujuk artinya adalah kembali.

Pasal 41 UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a). Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b). Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c). Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Melihat pasal ini jelas sekali bahwa walaupun telah terjadi perceraian masing-masing pihak dalam hal ini suami dan istri tetap memiliki tanggungjawab terhadap anak dari hasil perkawinan mereka. Sang suami pun tetap memiliki tanggungjawab terhadap bekas istrinya selama bekas istrinya belum memiliki suami lagi.

Adanya UU Perkawinan dan KHI dimaksudkan agar kita bersama-sama lebih dapat memaknai arti dari suatu lembaga perkawinan sehingga kita, khususnya para pasangan suami-istri tidak lekas-lekas memutuskan untuk bercerai ketika dirasa sudah tidak ada lagi keharmonisan dalam biduk rumah tangga.

Ipak_Siwi_Saras

Sumber :

Artikel “Perceraian Menurut UU Perkawinan” Drs. H. Helmy Thohir (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur)

Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan

“Bimbingan Perkawinan” Drs. Dedi Junaidi

“Bunga Rampai Hukum Perkawinan Islam” Mulati, SH.MH

Friday, June 20, 2008

TALAK DALAM HUKUM ISLAM

Pada dasarnya perceraian bukanlah tujuan dari adanya perkawinan dan Allah SWT mengategorikannya sebagai perbuatan halal namun sangat dibenci, maka hendaknya diusahakan untuk tidak menganggap sepele masalah ini.
Dalam istilah agama, talak atau cerai berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan (Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan). Adanya talak (perceraian) dalam Islam hanyalah satu alternatif dalam memecahkan suatu bahaya akibat tetapnya suatu ikatan perkawinan namun tidak didasari norma-norma agama atau tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, karena itu talak atau perceraian harus didasarkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh syari’at.
Didalam Islam, talak ada beberapa macam. Baik ditinjau dari segi bilangan dan kebolehan, maupun ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya.
Pertama ditinjau dari segi bilangan dan kebolehan kembali kepada mantan isteri, talak terbagi dua yaitu talak raj’i dan talak bain (Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan).
Talak Raj’i adalah talak satu dan dua, dimana mantan suami dimungkinkan kembali kepada mantan isterinya dengan tanpa akad (baru), yaitu manakala mantan isteri itu masih dalam masa iddah dari talak satu atau dua tersebut;
Talak Bain Sugra adalah talak yang tidak memberikan hak rujuk kembali kepada mantan suami terhadap mantan isterinya (baik talak satu maupun dua) lantaran masa iddah telah habis. Dalam kondisi ini, mantan suami masih dibolehkan mengawini mantan isterinya itu dengan akad dan mahar baru.
Talak Bain Qubra adalah talak yang menghilangkan hak suami untuk rujuk dan kawin kembali kepada isterinya meskipun dengan akad dan mahar baru, kecuali apabila mantan isterinya itu pernah menikah dengan laki-laki lain dan setelah lepas darinya yang telah habis masa iddahnya.
Kedua ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya. Dari sisi ini, talak terbagi tiga macam, yaitu:
Talak Suni / Talak Jawaz yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunah yang meliputi dua syarat, ialah :
isteri yang ditalak sudah pernah digauli (disetubuhi);
isteri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yakni ia dalam keadaan suci dari haid dan belum digauli ketika talak dijatuhkan.
Talak Bid’i / Talak haram yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntutan sunah / tidak memenuhi kriteria yang terdapat dalam talak suni. Talak ini diharamkan lantaran merugikan pihak isteri sebab iddahnya lebih lama dari iddah talak suni. Macam talak yang masuk dalam kategori talak ini adalah:
talak yang dijatuhkan kepada isteri disaat sedang haid dan begitupun ketika nifas (40 hari setelah melahirkan);
talak yang dijatuhkan kepada isteri disaat ia dalam keadaan suci, tetapi pernah digauli (disetubuhi) dalam rentan waktu suci tersebut.
Talak bukan Suni dan talak bukan Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan terhadap yang salah satu hal berikut:
isteri yang ditalak itu belum pernah digauli (disetubuhi);
isteri yang ditalak itu belum pernah haid / telah lepas dari masa haid (monopouse);
isteri yang ditalak dalam keadaan hamil.
Dengan tulisan di atas kami berharap agar para calon pasangan suami-istri untuk lebih menelaah lebih dalam arti dari perkawinan itu sendiri. Dan untuk para suami-istri, kami harap dapat lebih berfikir lagi dalam memutuskan suatu perceraian apabila terjadi ketidakseimbangan dalam membina rumah tangga. Hal ini dimaksudkan agar tidak terburu-buru dalam memutus ikatan perkawinan. Karena seperti yang telah dipaparkan pada tulisan sebelumnya bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan yang sakral, sehingga kita harus menghormati arti dari perkawinan itu sendiri. Dalam suatu perkawinan harus memiliki unsur kasih sayang dan saling jujur serta saling mempercayai satu sama lain. Karena apabila di dalam rumah tangga hal-hal tersebut tidak ada, maka perkawinan dapat berakhir dengan perceraian.
Saras_Ipak_Siwi

Monday, June 16, 2008

Hak dan Kewajiban Suami dan Istri dalam Hukum Islam dan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan

Perkawinan merupakan kesepakatan bersama antara suami dan istri untuk melakukan suatu perjanjian perikatan sebagai suami dan istri. Dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan di jelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam hal mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan sangat diperlukan kerja sama yang baik antara suami dan istri dalam hal menjalankan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang seharusnya diterima seseorang setelah ia memenuhi kewajibannya. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang untuk mendapatkan hak. Dalam hal ini apa yang dinamakan hak istri merupakan kewajiban dari suami, begitupula sebaliknya.
Secara umum menurut pasal 33 dan pasal 34 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, suami-istri wajib saling setia dan mencintai, hormat-menghormati, dan saling memberi bantuan secara lahir dan batin. Suami wajib melindungi dan memenuhi keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Begitu pula sang istri, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Berbicara mengenai hak dan kewajiban istri-suami maka hak dan kewajiban tersebut dapat dipisahkan menjadi dua kelompok, Pertama hak dan kewajiban yang berupa kebendaan, yaitu mahar dan nafkah. Kedua hak dan kewajiban yang bukan kebendaan.
Yang merupakan hak dan kewajiban yang berupa kebendaan antara lain adalah Pertama, suami wajib memberikan nafkah pada istrinya. Maksudnya adalah suami memenuhi kebutuhan istri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga pada umumnya.
Kedua, suami sebagai kepala rumah tangga. Dalam hubungan suami-istri maka suami sebagai kepala rumah tangga dan istri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga sehari-hari dan pendidikan anak. Akan tetapi, ini tidak berarti sang suami boleh bertindak semaunya tanpa memperdulikan hak-hak istri. Apabila hal ini terjadi maka istri berhak untuk mengabaikannaya. Ketiga, istri wajib mengatur rumah tangga sebaik mungkin.
Adapun hak dan kewajiban suami-istri yang bukan kebendaan adalah pertama, suami wajib memperlakukan istri dengan baik. Maksudnya suami harus menghormati istri, memperlakukannya dengan semestinya dan bergaul bersamanya secara baik.
Kedua, suami wajib menjaga istri dengan baik. Maksudnya suami wajib menjaga istri termasuk menjaga harga diri istri, menjunjung kemuliaan istri dan menjauhkannya dari fitnah.
Ketiga, suami wajib memberikan nafkah batin kepada istri. Keempat, suami wajib bersikap sabar dan selalu membina ahlak istri. Maksudnya suami wajib untuk bersikap lemah lembut terhadap istrinya dan harus bersikap tegas ketika melihat istrinya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan agama. Sikap tegas di sini dimaksudkan untuk mendidik dan membina ahlak istri.
Keempat, istri wajib melayani suami dengan baik. Maksudnya seorang istri wajib mentaati keinginan suaminya selama keinginan tersebut tidak bertentangan dengan syariat agama.
Kelima, istri wajib memelihara diri dan harta suami. Maksudnya istri harus benar-benar menjaga diri jangan sampai menjadi perhatian orang yang mengakibatkan fitnah. Seorang istri juga wajib menjaga harta milik suami, dengan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak penting. Keenam, istri wajib untuk tidak menolak ajakan suami ke tempat tidur.
Selain hak dan kewajiban suami-istri, dalam suatu perkawinan juga terdapat kedudukan suami-istri. Secara garis besar kedudukan suami-istri dalam pasal 31 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah sama. Baik kedudukannya sebagai manusia maupun dalam kedudukanya dalam fungsi keluarga.
Tujuan dari pasal 31 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah agar tidak ada dominasi dalam rumah tangga diantara suami-istri, baik dalam membina rumah tangga ataupun dalam membina dan membentuk keturunan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa untuk dapat menciptakan sebuah keluarga yang harmonis diharapkan bagi suami-istri untuk menelaah lebih dalam dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari makna dari sebuah perkawinan, termasuk hak dan kewajiban suami-istri tentunya.
Saras_Ipak_siwi


Sumber :
Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
“Bimbingan Perkawinan” Drs. Dedi Junaidi
“Bunga Rampai Hukum Perkawinan Islam” Mulati, SH.MH