Tuesday, June 24, 2008

HARTA BERSAMA (GONO GINI)

Semua orang tentunya mengharapkan hal-hal yang indah dalam sebuah perkawinan, akan tetapi terkadang apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Akhir-akhir ini semakin banyak pasangan suami isteri yang menempuh jalan sendiri dengan kata lain mereka memilih untuk bercerai, ketika apa yang diharapkan tidak terlaksana. Mereka menganggap perceraian adalah penyelesaian yang terbaik dari ketidakharmonisan mahligai perkawinan mereka.

Seperti artikel kami sebelumnya yang membahas mengenai perceraian, ternyata perceraian bukan merupakan suatu penyelesaian yang terbaik. Karena setelah adanya putusan pengadilan, biasanya akan timbul beberapa permasalahan yang baru seperti hak asuh anak dan pembagian harta bersama.

Kedua hal ini sering menimbulkan perselisihan diantara suami isteri yang bercerai. Kali ini, kami akan membahas mengenai harta bersama. Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta bersama dibagi dengan seimbang antara mantan suami dan mantan isteri. Hal ini tentunya apabila tidak ada perjanjian perkawinan mengenai pisah harta dilakukan oleh pasangan suami isteri yang dilakukan sebelum dan sesudah berlangsungnya akad nikah.

Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-undang dan peraturan berikut:

  1. UU Perkawinan Pasal 35 ayat (1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Artinya harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama;
  2. KUHPerdata Pasal 119, disebutkan bahwa sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan isteri;
  3. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 85, disebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pasal ini sudah menyebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta perkawinan (harta gono gini). Meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing pasangan baik suami maupun isteri.
  4. Pada KHI Pasal 86 ayat (1) dan (2), kembali dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan (ayat (1)); pada ayat (2) lebih lanjut ditegaskan bahwa pada dasarnya harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga sebaliknya.

Harta bersama meliputi:

  1. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;
  2. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri;
  3. Harta yang diperoleh sebagai hadiah/pemberian atau warisan apabila ditentukan demikian.

Dengan demikian, segala urusan yang berkenaan dengan harta bersama harus didasari ketiga sumber hukum positif tersebut.

Mengenai harta bersama, dalam Pasal 37 UU No.1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan menentukan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.

Bagi umat Islam, ketentuan pembagian harta bersama diatur dalam KHI Pasal 97 dinyatakan bahwa ”janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, sedangkan bagi penganut agama lainnya diatur dalam KUHPerdata Pasal 128 yang menyebutkan bahwa ”setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan isteri atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tidak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperoleh”.

Berkaitan dengan harta barsama , hukum positif juga memberikan perlindungan hukum terhadap harta bersama tersebut. Perlindungan ini berupa peletakan sita jaminan terhadap harta bersama jika dikhawatirkan salah satu pihak suami-istri akan melakukan kecurangan, seperti mengalihkan sebagian besar harta bersama kepada pihak ketiga dengan maksud ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang di dapat pihak yang melakukan kecurangan tersebut akan lebih banyak dari yang seharusnya. Sita jaminan dalam hal ini biasa kita kenal dengan istilah sita marital.

Dalam KHI Pasal 95 ayat (1) mengatur bahwa ”dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c, Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2) suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya”. Ayat (2) lebih lanjut mengatur, ”selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.”

Menurut KUHPerdata dan KHI apabila terjadi perceraian, pembagian harta bersama bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai, tidak harus menunggu putusan cerai terlebih dahulu.

Dalam hal putusnya perkawinan yang disebabkan perceraian biasanya akan mengakibatkan perselisihan antara suami dan isteri mengenai harta bersama. Maka kami memberi saran, sebaiknya bagi yang ingin menikah terlebih dahulu diadakan perjanjian tertulis mengenai harta bersama dalam perkawinan antara calon suami dan calon isteri, sehingga dalam hal terjadinya perceraian, maka salah satu pihak yang menuntut pembagian dari harta bersama tersebut tidak perlu mencari pembuktian dengan sulit, karena secara hukum telah ditentukan bagian-bagian bagi mereka, sebagaimana yang telah mereka perjanjikan sebelumnya.

Sumber:

1. ”Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadinya Perceraian” Happy Susanto.

2. “Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di IndonesiaProf. Wahyono Darmabrata, SH.,MH dan Surini Ahlan Sjarif, SH.,MH.

3. Artikel “Hukum Sita Marital VS Perjanjian Pranikah” Ria Jumriati

No comments: